Eksis Bareng Di Sawarna (Bag.II)

10-11 November 2012

Perjalanan mendaki bukit dan menuruni lembah di tengah hari yang terik memang cukup melelahkan. Namun, itu semua terbayar ketika kami sampai di pantai pasir putih yang dikenal dengan nama Lagoon Pari. Suasana pantai begitu sepi dari keberadaan manusia tetapi ramai dengan suara ombak tinggi yang berdebur.  Di tepian pantai terdapat beberapa perahu nelayan yang terparkir. Mungkin cuacanya tidak terlalu bagus untuk melaut. Hari itu langit cukup kelabu tetapi sinar mataharinya begitu menyengat. Beberapa dari kami lebih memilih untuk berteduh di saung yang menjual makanan dan minuman. Suasananya cukup teduh karena pepohonan yang menaungi saung tersebut. Sedangkan sebagian lainnya berfoto di batu-batu karang yang ada di tepian pantai.

DSCN5421

DSCN5414

Tidak seberapa lama dari kejauhan arah sebelah kiri, gue melihat kerbau yang digiring seorang gembala menuju pantai. Bukan satu atau dua tapi banyak sekali kerbau yang jalan beriringan. Sepertinya kerbau pun butuh mandi atau bermain air. Mungkin juga mereka menuju padang gembala atau sekadar berolahraga saja. Namun keberadaan sekumpulan kerbau tersebut menjawab pertanyaan teman-teman Tim UG. Mengapa di Pantai Sawarna yang begitu sepi, banyak sekali ditemukan tahi kerbau yang berserakan.

DSCN5439

Setelah itu kami menuju Karang Taraje yang ada di arah jam sebelas dari posisi Lagoon Pari. Untuk mencapainya kami berjalan santai agak jauh sambil menikmati hembusan angin. Mendekati tujuan, keberadaan pasir putih disesaki dengan bebatuan. Sepertinya air laut sedang surut karena di antara bebatuan ini terdapat genangan-genangan air dengan ikan-ikan kecil di dalamnya. Semakin dekat, yang ada hanya bebatuan dan kami harus menaikinya untuk mencapai Karang Taraje. Kali ini lebih jelas terlihat  bahwa bebatuan alami ini tampak seperti batu buatan campuran dari semen dengan pasir.

DSCN5461

DSCN5464

Karang Taraje memang salah satu wisata alam menakjubkan yang pernah gue kunjungi. Di tepiannya, kita berpijak pada dataran batu yang cukup luas. Permukaannya halus, begitu juga dengan dinding tebingnya. Di sana juga kita bisa melihat bebatuan besar seperti yang ada di Belitung. Tidak itu saja, ombak yang membentur karang hitam berkali-kali membuat gue terpukau. Hempasan ombaknya begitu tinggi menimbulkan busa putih yang kemudian menuruni tiap lekukan karang. Salah satu peristiwa alam yang spektakuler untuk dijadikan latar belakang untuk berfoto.  Tentu saja kami tidak akan menyia-nyiakan pesona keindahan Karang Taraje. Cukup lama kami mengambil gambar sampai air laut mengisi cekungan karang-karang tanda air sudah mulai pasang kembali.

DSCN5475

Sekembalinya ke saung, kami beristirahat sejenak kemudian melanjutkan perjalanan untuk makan siang. Kami pun menyusuri pantai kembali, kali ini ke arah kanan. Masih di bawah terik matahari, kami berjalan kaki hingga sampai ke sebuah warung. Dari sini, kami bisa melihat karang-karang besar di pantai agak menjorok ke laut. Di atas salah satu karang terdapat batu bereum atau batu merah. Tidak terlihat jelas dari saung apakah warnanya benar-benar merah atau bukan. Tempat ini juga bisa dijadikan lokasi foto yang bagus dengan latar belakang ombak yang menerjang karang. Sementara beberapa teman berfoto, gue dan lainnya menyantap makan siang. Gue memilih makan di meja yang ada di sebelah warung. Tidak ada atap yang memayungi tetapi kami tidak merasa panas saat makan. Entah karena makanannya yang begitu nikmat hingga tidak merasakan sengatan matahari atau memang cuacanya yang sedang adem.

*Sumber: Caroline Ifarianti*

Hembusan angin yang menerpa wajah sehabis makan membuat kantuk datang mendera. Namun, perjalanan harus dilanjutkan. Supaya lebih seru dan menyenangkan, terkadang kami berhenti sejenak untuk berfoto. Di karang atau bebatuan kami mencari posisi yang pas untuk berpose. Jalannya cukup mudah dilalui sampai kami harus melintasi pantai berisi hamparan bebatuan yang agak besar.  Diharuskan untuk berhati-hati dalam memijak batu-batuan tersebut agar tidak terjerembab. Sampai di sebuah sudut pantai kami beristirahat sebentar. Mengatur napas sebelum naik ke bukit kembali. Kami  tidak bisa menyusuri pantai lewat bawah karena air sudah pasang. Sehingga setelah sampai di atas, kami kembali turun di sisi yang lain dari pantai sebelumnya.

Dari kejauhan kami bisa melihat batu atau karang berukuran raksasa yang dikenal dengan nama Tanjung Layar. Batu yang menjulang tinggi dan tegak berdiri itu terlihat dekat. Namun ternyata untuk mencapainya tidak mudah. Hamparan batu di tepian pantai sudah siap menunggu pijakan kami. Tubuh yang sudah letih ini rasanya sudah malas sekali untuk melewati bebatuan tersebut. Gue, Echa dan Tiwi tertinggal di belakang menjadi kelompok terakhir bisa melewati batu-batuan tersebut. Sementara yang lainnya sudah menyeberang ke arah batu layar, kami pun bergegas menyusul. Foto di sini juga tidak kalah keren dengan latar belakang batu megah yang berbentuk seperti layar perahu. Ataupun dengan terjangan ombak yang memecah karang.  Untuk menyeberang ke tengah, gue sarankan untuk memakai sepatu sandal karena batu karang atau keong yang tajam di bawah. Lebih baik lagi kalau berenang walaupun arusnya cukup kuat. Kedalaman airnya kala itu maksimal sepinggang gue atau kurang lebih satu meter. Sedangkan di sekitar Batu Layar hanya setinggi mata kaki hingga sebetis. Kami berfoto sampai terasa air semakin tinggi dan langit menggelap.

DSCN5493

*Sumber: Poetri Tya*

*Sumber: Poetri Tya*

*Sumber: Poetri Tya*

Kemudian kami berjalan lagi menyusuri Pantai Ciantir. Lebih ramai orang dibandingkan dengan pantai sebelumnya. Mungkin dikarenakan lebih mudah diakses dan dekat dengan perkampungan warga. Tadinya kami ingin menyaksikan matahari terbenam. Namun, sayang matahari tertutup oleh awan hitam sehingga kami harus merelakannya. Beberapa dari kami melanjutkan bermain air, sebagian makan mie rebus sedangkan lainnya kembali ke penginapan. Masing-masing melakukan aktivitas yang disenangi. Sama seperti ketika malam hari datang. Ada yang membakar jagung, bermain UNO atau lebih memilih tidur karena kelelahan.

*Sumber: Caroline Ifarianti*

Keesokan harinya, kami kembali ke Pantai Ciantir.  Sebagian besar dari kami bermain UNO sedangkan gue, Mia, Echa dan Eka berfoto ria. Kami melakukan sesi foto di karang agak menjauh dari saung yang kita duduki. Kebetulan airnya sedang surut sehingga terlihatlah karang-karang yang terendam air laut kemarin sore.Kami pun bisa berjalan agak ke tengah laut. Suasana pantai pasir putih tersebut siang itu sepi pengunjung. Kontras sekali dengan kemarin sore. Mungkin karena sinar matahari yang begitu terik dan menyengat sehingga membuat orang malas untuk ke pantai. Selesai berfoto, yang lain masih asyik bermain UNO. Lucunya yang kalah harus menceburkan diri. Walaupun pada akhirnya kami semua menceburkan diri ke laut dan foto bersama di siang hari yang panas tersebut.

Sama seperti dengan perjalanan-perjalanan sebelumnya. Selain mendapatkan pesona alam yang mengagumkan. Gue juga mendapatkan keluarga baru. Kali ini bernama The Exist. Kebersamaan kami memang hanya dua hari dua malam. Kami habiskan waktu dengan bermain penuh canda tawa. Melupakan beban kesedihan dan menghadirkan keceriaan. Begitulah pentingnya membuka hati, menjadi diri sendiri dan siap menerima kehadiran orang lain. Sehingga nantinya akan mendekatkan satu pribadi dengan yang lain. Mewujudkan sebuah keluarga solid yang siap berbagi momen-momen penting dalam hidup. Gue yakin kebersamaan ini tidak akan berhenti di sini. Kami akan melakukan perjalanan lainnya bersama-sama di kemudian hari. Karena kami mempunyai semangat, kegemaran dan keyakinan yang sama. Seperti yang ditulis di salah satu pasal kitab perundangan The Exist.

“Pasal 33: The Exist adalah grup yang memiliki semangat kasih sayang, selalu tersenyum dan pantang menyerah.”

The Exist (Ki-Ka): Mia, Yudi, Echa, Rina, Sri, Gue, Oline, Yanti, Leslie, Eko, Sherly, Eka, Putri, Hendra, Tiwi, Nafsiah.
*Sumber: http://www.flickr.com/opheliamorada/ *

NB: Foto selengkapnya dari kamera gue bisa dilihat di sini dan punya Kak Mia di sini.

5 thoughts on “Eksis Bareng Di Sawarna (Bag.II)

  1. Pingback: Cerita Wisata ke Sawarna: Eksis Bareng Di Sawarna | Blogger

Leave a comment